Penegakan Hukum di Indonesia
Negara Indonesia adalah Negara hukum yang
berdasarkan atas pancasila. Semua golongan masyarakat di Indonesia patut
mematuhi segala aturan atau system penegakan hukum yang telah berlaku.
Penegakan hukum itu sendiri adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya
atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam
lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara.
Penegakan hukum dapat ditinjau dari dua
sudut, yaitu :
penegakan
hukum itu dapat dilakukan oleh subjek yang luas dan dapat pula diartikan
sebagai upaya penegakan hukum oleh subjek dalam arti yang terbatas atau sempit.
- Penegakan hukum dalam arti luas yaitu proses penegakan hukum yang melibatkan semua objek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan hukum tersebut .
- Penegakan hukum dalam arti sempit yaitu upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan bahwa suatu aturan hukum berjalan sebagaimana seharusnya. Dalam memastikan tegaknya hukum itu, apabila diperlukan, aparatur penegakan hukum itu diperkenankan untuk menggunakan daya paksa.
- Penegakan hukum dalam arti luas yaitu penegakan hukum yang mencakup nilai-nilai keadilanyang terkandung di dalamnya bunyi aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat.
- Sementara penegakan hukum dalam arti sempit yaitu penegakan hukum yang hanya menyangkut penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja.
Dari penjelasan
diatas dapat di simpulkan bahwa yang di maksud dengan penegakan hukum itu
adalah cara yang di lakukan untuk menjadikan hukum sebagai pedoman perilaku
dalam setiap perbuatan yang bersangkutan dengan hukum, baik oleh subjek hukum
yang bersangkutan maupun oleh aparatur penegak hukum yang berwenang untuk
menjamin berfungsi atau hidupnya norma-norma hukum dalam kehidupan
bermasyarakat.
Namun pada kenyataannya
hukum tidaklah menjadi pedoman bagi setiap perilaku masyarakat saat ini.
Penegakan hukum di Indonesia saat ini masihlah sangat buruk. 10 tahun terakhir,
demokrasi di Indonesia dan kontrol korupsi tidaklah ada kemajuan. Dalam survei
yang dilakoni LSI terhadap 1.220 koresponden pria dan wanita, berusia 17 tahun
atau lebih, ditemukan bahwa sekitar 42,4 persen koresponden menilai kondisi
penegakan hukum nasional buruk atau sangat buruk. Hanya sekitar 32,6 persen
yang mengatakan baik atau baik sekali.
Dalam survei LSI,
persepsi atas kinerja pemerintah memberantas korupsi juga terus menurun. Pada
Desember 2008, studi LSI sebelumnya menunjukkan 77 persen menilai baik kinerja
pemerintah. Pada 2009, turun menjadi 59 persen, 2010 menjadi 52 persen dan pada
2011 hanya 44 persen yang menilai baik kinerja pemerintah.
Kinerja Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) juga dinilai merah. Catatan LSI, dari 2008-2010,
kinerja KPK dinilai baik pada rentang 61-66 persen. Namun, dalam survei
terakhir Desember 2011, hanya sebanyak 44 persen yang masih percaya kinerja KPK
baik atau sangat baik.
Menurut Ketua Dewan
Pengurus Transparency International Indonesia (TII), Todung Mulya Lubis,
buruknya persepsi publik bukan hanya diakibatkan lambannya penanganan
kasus-kasus besar oleh penegak hukum. Tapi juga karena munculnya kasus-kasus
yang menyakiti rasa keadilan masyarakat kecil.
Sebenarnya upaya
penegakan hukum hanya satu elemen saja dari keseluruhan persoalan kita sebagai
Negara Hukum yang mencita-citakan upaya menegakkan dan mewujudkan keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Hukum tidak mungkin akan tegak, jika
hukum itu sendiri tidak atau belum mencerminkan perasaan atau nilai-nilai
keadilan yang hidup dalam masyarakatnya. Hukum tidak mungkin menjamin keadilan
jika materinya sebagian besar merupakan warisan masa lalu yang tidak sesuai
lagi dengan tuntutan zaman. Artinya, persoalan yang kita hadapi bukan saja
berkenaan dengan upaya penegakan hukum tetapi juga pembaruan hukum atau pembuatan
hukum baru.
Bukan hanya itu
saja tapi juga harus adanya pemeriksaan pada aparat hukum yang telah
menyelewengkan jabatannya dan memperketat aturan bagi setiap aparatur hukum
untuk mengembalikan citra baik pada aparat penegak hukum yang sudah terlanjur tercoreng
di mata masyarakat. Begitu juga untuk mengembalikan rasa percaya terhadap
pemerintahan di Indonesia saat ini yang terlihat kemajuannya sangat menurun.
Semakin banyak masalah-masalah yang timbul tetapi penyelesaian terhadap hukum
itu sendiri malah semakin lamban.
Semakin
merajalelanya para koruptor dan lambannya penegak hukum menangani
masalah-masalah besar semakin memperburuk citra penegakan hukum di Indonesia. Penegak
hukum sangatlah mudah untuk di suap sangat jauh berbeda dengan fungsi penegak
hukum itu sendiri, semakin besar suatu permasalahan semakin ringan hukuman yang
di berikan, contohnya seseorang yang mencuri ayam ketika diproses hukum ia di
vonis hukum penjara selama 5 tahun. Sementara seorang koruptur yang telah
membobol uang rakyat miliyaran rupiah malah berleha-leha di luaran sana karna
lambannya penanganan dari pihak penegak hukum dan itu hanya di vonis 6 tahun
penjara, dan yang lebih mirisnya adalah koruptor tersebut di penjara dengan fasilitas seperti di kamar
hotel bintang 5.
Para aparat hukum
memperjual-belikan hukum, karena memang sistem hukum kita sudah sedemikian
korup. Sebagai contoh lagi, untuk masuk Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian
(PTIK), para polisi harus membayar antara Rp 35 juta hingga Rp 40 juta. Karena
gaji mereka kecil, tentu mereka harus menerima suap/memeras agar bisa membayar
biaya kuliahnya yang mungkin berasal dari hutang. Ada juga bos judi yang
membiayai polisi tersebut hingga jadi perwira dan jadi beking bos judi
tersebut. Para aparat hukum juga harus menyetor sejumlah uang ke atasannya.
Anggota polsek ditargetkan untuk menyetor ke Kapolsek. Para Kapolsek pun
ditargetkan untuk menyetor uang ke Kapolres, hingga akhirnya sampai ke Kapolri.
Pernah diberitakan bahwa jabatan Polri diperjual-belikan. Namun begitu dibantah
oleh Kapolri Da’i Bakhtiar, isyu tersebut lenyap. Begitu pula isyu yang
menyebutkan bahwa ada perwira Polri yang menawar jabatan polri sebesar Rp 10
milyar.
Hukum hanya mereka
tegakkan jika terdakwa tidak mempunyai uang untuk menyuap. Hukum mereka gunakan
untuk memeras terdakwa yang tidak bersalah untuk memperkaya materi mereka. Berbagai
lembaga pengawas aparat hukum seperti DPR, Komisi hukum dan lain-lain tidak
mampu mengontrol dan membersihkan aparat hukum tersebut karena tidak mempunyai
wewenang yang cukup kuat untuk memberantas dan membersihkan aparat hukum
seperti itu.
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar